Beranda / Operasi Manajemen Rumah Sakit / Sistem Klaim BPJS Masih Sakit: Ketika Administrasi Menjadi Titik Rawan Pelayanan Publik

Sistem Klaim BPJS Masih Sakit: Ketika Administrasi Menjadi Titik Rawan Pelayanan Publik

Pada tahun ke-10 implementasi Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), sistem pelayanan publik berbasis BPJS Kesehatan masih menyisakan luka struktural. Bukan pada sisi klinis atau jumlah peserta, tetapi pada proses administrasi klaim yang lambat, tidak seragam, dan kerap menggagalkan sistem itu sendiri.

Berdasarkan investigasi tim medis360.id selama periode 2023–2024 terhadap beberapa rumah sakit di Jawa, Nusa Tenggara, dan Kalimantan, terungkap bahwa keterlambatan klaim bukan sekadar anomali teknis, melainkan simptom dari penyakit manajerial yang laten dan sistemik.

Keterlambatan Klaim: Bukan Kasus, tapi Pola

Di RS Kartika Husada Setu, Jakarta Timur, tercatat antara 13% hingga 18% klaim rawat inap masuk status pending dalam semester pertama 2024. Tiga dari lima penyebabnya bersifat administratif: indikasi medis tidak cocok dengan prosedur INA-CBG (79%), dokumen tidak lengkap (4,4%), serta kesalahan koding medis (16,2%).

Fenomena serupa muncul di RS Dr. Soepraoen, Malang. Dari 60 kasus klaim yang tertunda (Januari–Maret 2023), 52% disebabkan oleh resume medis yang tidak lengkap. Bahkan di RS tipe B seperti Siloam Hospitals Kupang, 26% klaim rawat inap belum diverifikasi setelah dua bulan, akibat tumpukan kesalahan teknis dan lemahnya koordinasi antarunit internal.

Alih-alih insiden lokal, data ini membentuk pola yang berulang secara nasional—terutama pada rumah sakit yang melayani volume pasien BPJS tinggi.

Diagnosis Masalah: Sistem Tanpa Standar

  1. Tidak Ada SOP Nasional yang Seragam
    Setiap rumah sakit mengembangkan pola kerjanya masing-masing—tanpa regulasi baku tentang format resume medis, pengisian koding, ataupun jalur validasi akhir. Dalam sistem BPJS yang padat, ketiadaan standarisasi ini adalah pintu masuk bagi keterlambatan massal.
  2. Tenaga Koding Minim dan Tidak Tersertifikasi
    Mayoritas petugas casemix di RS daerah adalah staf administrasi umum yang ditugaskan tanpa pelatihan coding ICD dan INA-CBG. Akibatnya, verifikator BPJS sering menemukan klaim yang tidak match secara diagnosis meski secara klinis benar.
  3. Infrastruktur Digital Masih Lemah
    Di luar kota besar, jaringan komputer lambat, sistem EMR belum stabil, dan dokumentasi masih manual. Di Siloam Kupang, tim penagihan menggunakan satu printer untuk seluruh berkas, mengakibatkan bottleneck administratif hingga dua minggu dalam satu siklus klaim.

Efek Domino: RS Terguncang, Pasien Terjepit

Klaim yang tertunda menyebabkan rumah sakit kehilangan arus kas hingga miliaran rupiah setiap triwulan, membuat mereka menunda pembelian obat, menurunkan intensitas pelayanan pasien BPJS, bahkan menghentikan sementara investasi alat medis.

“Kalau klaimnya tertunda dua bulan saja, kita defisit 1,2 miliar rupiah. Kita harus gali talangan ke koperasi karyawan atau menekan operasional,” ujar salah satu direktur RSUD tipe C di Kalimantan Selatan (identitas disamarkan atas permintaan).

Paradoks BPJS: Sistem Sosial dengan Beban Komersial

Dalam skema jaminan sosial nasional, rumah sakit tidak semestinya dipaksa menjalankan peran administratif tanpa dukungan struktural yang kuat. Namun justru itu yang terjadi. BPJS beroperasi seolah asuransi swasta yang super ketat, namun tanpa sistem backend yang gesit dan kolaboratif.

Di titik ini, sistem justru menjerat para pelayan kesehatan yang seharusnya menjadi garda depan.

Solusi: Seruan untuk SOP Nasional dan Dashboard Publik

Berdasarkan temuan 2023–2024, berikut adalah rekomendasi resmi medis360.id kepada Kementerian Kesehatan dan BPJS Kesehatan:

  1. SOP Nasional Proses Klaim:
    Resume, kode ICD, dan dokumentasi INA-CBG distandarisasi dan diwajibkan untuk seluruh RS mitra BPJS.
  2. Pelatihan Koder Wajib:
    Tiap RS harus memiliki minimal 2 petugas koding bersertifikat dalam waktu 1 tahun ke depan.
  3. Dashboard Klaim Terbuka:
    BPJS dan RS harus membuka data klaim tertunda, valid, ditolak, serta nilai uang yang belum cair—secara publik, bulanan, per provinsi.
  4. Insentif & Sanksi Klaim:
    RS dengan performa klaim terbaik diberi prioritas pembayaran dan insentif kelas layanan; RS bermasalah diwajibkan audit sistemik per triwulan.
  5. Sinkronisasi Sistem EMR Nasional:
    Pemerintah perlu mempercepat integrasi rumah sakit dengan platform rekam medis digital terstandar agar validasi klaim tak perlu lagi tertahan di ruangan kasir.

Ini Bukan Lagi Soal Uang, Tapi Soal Nyawa

Klaim yang tertunda bukan sekadar soal tagihan, tapi soal hidup. Di balik setiap klaim yang tidak cair, ada pasien yang terlambat ditangani, ada nakes yang frustrasi, dan ada rumah sakit yang perlahan kolaps.

Sistem JKN tidak boleh dibiarkan menjadi labirin administratif yang membebani yang menyembuhkan.

Sudah saatnya Indonesia punya sistem jaminan kesehatan yang tidak hanya masif dalam cakupan, tetapi juga presisi dalam pengelolaan.

Sumber Data (2023–2024):

  • IJBLE, 2024 – RS Kartika Husada
  • Poltekkes Malang JIKI, 2023 – RS Dr. Soepraoen
  • JMPK UGM, 2023 – Siloam Kupang
  • [PERSI & Stikes Alifah, 2023–2024] – Review SOP RS & koding
  • [ResearchGate, 2024] – Studi model sistem klaim berbasis fenomenologi

Redaksi Medis360.ID