Beranda / Fakta Teknologi Kesehatan / Vaksin, Babi, dan Politik: Mengurai Benang Kusut Halal–Haram

Vaksin, Babi, dan Politik: Mengurai Benang Kusut Halal–Haram

Di Indonesia, vaksin kerap tidak hanya diperdebatkan dari sisi medis, melainkan juga dari sisi keyakinan. Kata “halal” dan “haram” menjadi bahan bakar perdebatan, seakan-akan menentukan apakah sebuah vaksin boleh atau tidak disentuhkan ke tubuh umat. Di balik hiruk pikuk itu, ada fakta ilmiah, ada fatwa keagamaan, dan ada pula kepentingan politik yang saling berkelindan.

Kontroversi umumnya berakar dari dua hal teknis. Pertama, pemanfaatan bahan penstabil atau enzim yang bersumber dari babi—misalnya porcine gelatin yang menjaga stabilitas vaksin, atau trypsin dari pankreas babi yang dipakai dalam kultur sel. Kedua, penggunaan cell line tertentu dalam tahap riset atau produksi. Walau tidak selalu tersisa dalam produk akhir, kehadiran unsur ini cukup untuk menimbulkan kegelisahan di kalangan masyarakat beragama.

Namun di balik perdebatan teknis, ada garis tegas yang digariskan oleh otoritas keagamaan. Majelis Ulama Indonesia (MUI) beberapa kali mengeluarkan fatwa terkait vaksin. Vaksin Sinovac, misalnya, dinyatakan suci dan halal. Vaksin AstraZeneca dianggap haram karena melibatkan trypsin babi di proses produksi, tetapi penggunaannya dibolehkan dalam kondisi darurat. Vaksin MR (Measles–Rubella) juga dinyatakan haram asalnya, namun boleh digunakan sementara karena tidak ada alternatif halal dan risiko kesehatan anak-anak terlalu besar jika imunisasi dihentikan. Pola fatwa ini memperlihatkan sikap fleksibel: menegaskan status hukum, tetapi juga membuka ruang darurat untuk menyelamatkan jiwa.

clear glass bottle with orange and green liquid inside

Secara ilmiah, banyak vaksin tidak benar-benar “mengandung babi” dalam produk akhirnya. Perdebatan lebih sering terjadi pada level proses produksi. Inilah yang kadang menimbulkan kebingungan publik. Produsen farmasi menyebut vaksin “bebas babi”, sementara otoritas agama menyoroti tahapan riset yang tetap bersentuhan dengan unsur haram. Pertarungan narasi ini kerap menjadi bahan bakar isu di media sosial.

Tak jarang, perdebatan ini ditarik ke ranah politik. Narasi “vaksin haram” dipakai untuk membangun sentimen identitas, memobilisasi keraguan publik, bahkan memperlemah program imunisasi nasional. Di sisi lain, industri farmasi global juga melihat peluang: pasar halal. Permintaan vaksin dan obat bersertifikat halal mendorong riset baru, menjadikan isu halal bukan hanya soal agama, tetapi juga komoditas ekonomi.

Apa yang sebaiknya dipahami masyarakat? Pertama, penting untuk membedakan antara bahan di produk akhir dan bahan yang hanya dipakai dalam proses produksi. Kedua, rujukan utama tetaplah fatwa resmi MUI dan kajian ilmiah otoritatif dari BPOM serta Kementerian Kesehatan. Ketiga, kaidah darurat dalam fikih memang membuka jalan: ketika tidak ada pilihan halal, dan ancaman penyakit nyata, maka penggunaan vaksin yang awalnya diperdebatkan tetap sah.

Kontroversi halal–haram vaksin pada akhirnya adalah cermin bagaimana sains, agama, dan politik bertemu di ruang publik. Yang perlu diingat: menyelamatkan nyawa dan menjaga kesehatan adalah tujuan utama. Selebihnya, soal halal–haram vaksin jangan lagi dibiarkan menjadi senjata politik yang menyesatkan masyarakat.

Redaksi Medis360.ID