Beranda / Kesehatan untuk Rakyat / Jengkol: Antara Nutrisi, Rasa, dan Ancaman Ginjal

Jengkol: Antara Nutrisi, Rasa, dan Ancaman Ginjal

Bagi banyak orang Indonesia, jengkol adalah makanan khas yang punya tempat tersendiri di lidah. Aromanya menyengat, teksturnya kenyal, dan olahannya beragam: mulai dari semur hingga balado. Tapi di balik popularitasnya, jengkol menyimpan dua wajah: nilai gizi yang lumayan di satu sisi, dan risiko serius pada ginjal di sisi lain.

Nilai Gizi yang Jarang Dibicarakan

Dalam 100 gram jengkol segar, tersimpan energi sekitar 192 kkal, dengan protein 5,4 gram, vitamin C 31 mg, fosfor, kalium, hingga tembaga. Bahkan, studi di Jawa Barat menemukan jengkol bisa mengandung selenium—mineral penting untuk sistem antioksidan tubuh—dengan kadar yang bervariasi tergantung lokasi tumbuhnya.

Artinya, jengkol bukan sekadar lauk pelengkap nasi: ada asupan protein nabati, mineral, dan vitamin yang bisa menambah nilai gizi harian.

Masalah Utama: Djenkolisme

Sayangnya, jengkol juga membawa senyawa yang berbahaya: asam jengkolat. Zat ini dapat mengkristal di saluran kemih, terutama bila seseorang sedang dehidrasi atau memiliki urin yang cenderung asam.

Kondisi inilah yang dikenal sebagai djenkolisme. Gejalanya muncul cepat, biasanya beberapa jam setelah makan: nyeri perut bawah yang hebat, sulit kencing, urin berdarah, bahkan bisa berkembang menjadi cedera ginjal akut.

Sejumlah laporan medis di Asia Tenggara mendokumentasikan kasus-kasus serius djenkolisme, sebagian memerlukan perawatan rumah sakit dengan infus cairan, obat pengalkali urin, bahkan dialisis. Kasus fatal juga pernah tercatat.

Sebab dan Akibat

Sebab: konsumsi jengkol dalam jumlah banyak, kondisi tubuh kekurangan cairan, atau adanya riwayat penyakit ginjal/saluran kemih.

Akibat: terbentuknya kristal asam jengkolat → sumbatan saluran kemih → nyeri kolik, hematuria, hingga gagal ginjal akut.

Bagaimana Mengurangi Risikonya?

Masyarakat sebenarnya punya tradisi untuk mengolah jengkol sebelum disantap:

  1. Perendaman (bahkan dalam air kapur) untuk membantu menurunkan kadar asam jengkolat.
  2. Perebusan atau pengolahan matang dengan membuang air rebusannya.
  3. Mengonsumsi dalam porsi kecil, tidak terlalu sering.
  4. Minum air putih yang cukup saat dan setelah makan jengkol.

Namun perlu ditekankan: teknik ini mengurangi, bukan menghilangkan risiko. Bagi penderita penyakit ginjal, riwayat batu, atau anak-anak, sebaiknya menghindari jengkol sama sekali.

Menimbang Kembali

Jengkol adalah paradoks: di satu sisi kaya gizi, di sisi lain bisa berujung pada ruang IGD bila dikonsumsi tanpa bijak.

Bagi orang sehat, menikmati jengkol sesekali masih mungkin dilakukan—asal dimasak dengan benar dan disertai hidrasi cukup. Tetapi untuk kelompok rentan, risiko jauh lebih besar dibanding manfaat.

Pada akhirnya, jengkol mengajarkan satu hal sederhana: tidak semua yang enak aman bila berlebihan.

Redaksi Medis360.ID