Lenacapavir (LEN), antiretroviral generasi baru dari Gilead Sciences, semakin mendapat perhatian di komunitas global sebagai senjata potensial dalam memerangi HIV. Obat ini — yang bekerja dengan menghambat kapsid virus HIV-1 — menjanjikan terapi dan pencegahan jangka panjang dengan frekuensi pemberian hanya dua kali per tahun.
Sementara itu di Indonesia, epidemi HIV belum menunjukkan penurunan signifikan. Data terbaru memperlihatkan beban besar yang masih menggunung — menjadikan LEN bukan sekadar inovasi, melainkan potensi game changer yang mendesak diperhitungkan.
Gambaran Epidemi HIV di Indonesia (2025)
Per Maret 2025, Kementerian Kesehatan RI (Kemenkes) melaporkan telah menemukan 356.638 orang dengan HIV (ODHIV). Namun, estimasi total ODHIV hidup di Tanah Air mencapai sekitar 564.000 orang.
Dengan demikian, baru sekitar 63% dari estimasi ODHIV yang teridentifikasi.
Dari populasi yang teridentifikasi, 67% telah memulai terapi ARV — dan hanya sekitar 55–56% virusnya tersupresi (viral load terkontrol).
Ini jauh dari target global “95-95-95”, yang di Indonesia juga menjadi sasaran untuk mengakhiri epidemi HIV & Infeksi Menular Seksual (IMS) pada 2030.
Secara global, meskipun beberapa keberhasilan pernah tercapai, angka infeksi baru tetap ada. Menurut laporan UNAIDS terbaru, insiden HIV baru di negara-negara seperti Indonesia masih berada di kisaran puluhan ribu per tahun.
Situasi ini menunjukkan bahwa meskipun ada upaya peningkatan deteksi dan pengobatan, Indonesia masih jauh dari eliminasi — banyak orang yang belum tahu statusnya, dan dari yang menjalani terapi, hampir separuh belum mencapai supresi virus.
Lenacapavir: Apa dan Mengapa Relevan Sekarang
Lenacapavir adalah antiretroviral inovatif yang menarget protein kapsid HIV-1 — struktur pelindung vital virus. Sebagai “first-in-class capsid inhibitor”, LEN menghambat berbagai tahap siklus hidup virus: dari pembentukan kapsid, stabilitas, perakitan virus baru, hingga pelepasannya dari sel inang.
Berbeda dari ARV tradisional yang membutuhkan minum obat harian, LEN dikembangkan sebagai formulasi jangka panjang: injeksi subkutan dua kali per tahun, menawarkan kemudahan, kenyamanan, dan potensi kepatuhan (adherence) tinggi.
Regulator global telah mengakui potensinya: LEN telah disetujui untuk pengobatan HIV (terutama kasus resistensi multi-obat), dan uji klinis untuk pencegahan (PrEP) menunjukkan hasil sangat menjanjikan. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pun telah merekomendasikan injeksi LEN jangka panjang sebagai opsi PrEP tambahan.
Lenacapavir & Krisis HIV di Indonesia: Peluang Besar dan Mendesak
Kondisi epidemiologis terkini di Indonesia — dengan ratusan ribu ODHIV belum teridentifikasi, tingkat supresi virus jauh dari ideal, dan beban ARV harian yang sulit dipertahankan — menjadikan LEN sebagai solusi strategis yang hampir tak bisa diabaikan.
Dengan injeksi dua kali setahun, LEN dapat menawarkan:
- Pencegahan efektif bagi populasi berisiko tinggi (misalnya pekerja seks, pria seks dengan pria, populasi kunci lain) — tanpa beban minum harian.
- Terapis alternatif bagi pasien yang kesulitan patuh pada ARV harian — misalnya mereka di daerah terpencil, dengan mobilitas tinggi, atau menghadapi stigma sosial.
- Penguatan strategi nasional untuk mencapai target 95-95-95 dan eliminasi HIV/IMS pada 2030 — dengan memperluas cakupan pengobatan dan pencegahan secara efisien.
Hambatan Nyata di Indonesia
Namun, adopsi LEN di Indonesia tidak otomatis — ada sejumlah tantangan yang perlu diatasi:
- Regulasi dan ketersediaan
Saat ini, LEN belum tersedia luas di Indonesia. Perlu persetujuan dari Badan POM, dan proses pendaftaran serta distribusi yang tepat waktu. - Harga dan aksesibilitas
Meski WHO telah melakukan pra-kualifikasi, belum ada kepastian harga yang terjangkau untuk pasar negara berkembang seperti Indonesia. Tanpa subsidi atau negosiasi harga, biaya bisa menjadi penghalang besar. - Infrastruktur & logistik layanan kesehatan
Untuk menyukseskan program PrEP atau terapi jangka panjang, dibutuhkan fasilitas kesehatan, distribusi, pelacakan pasien, dan sistem follow-up yang kuat — terutama di daerah terpencil. - Stigma dan penerimaan sosial
Meski injeksi dua kali setahun mengurangi beban harian, stigma terhadap HIV masih tinggi di banyak komunitas — hal ini bisa menghambat akses bagi populasi kunci. - Kebutuhan skrining ketat
sebelum pemberian LEN, individu harus dipastikan HIV-negatif. Tes dan konfirmasi status menjadi prasyarat untuk mencegah resistensi atau penggunaan pada mereka yang sudah terinfeksi tetapi tidak terdiagnosis.
Rekomendasi Kebijakan untuk Pemerintah & Pemangku Kepentingan di Indonesia
Untuk memaksimalkan potensi LEN — dan sekaligus merespon beban HIV nasional — berikut langkah strategis yang direkomendasikan:
- Percepat registrasi dan persetujuan regulasi di Badan POM untuk formulasi LEN (tablet atau injeksi).
- Negosiasi harga dan skema subsidi — misalnya lewat kolaborasi dengan Global Fund, donor internasional, atau skema nasional BPJS — agar LEN dapat diakses oleh populasi luas.
- Integrasikan LEN ke dalam pedoman nasional (PMK, panduan ARV, program PrEP), dengan pedoman klinis yang jelas untuk penggunaan jangka panjang.
- Bangun infrastruktur distribusi & layanan PrEP/ARV jangka panjang, termasuk pelatihan tenaga medis, distribusi di puskesmas, dan sistem pelacakan pasien.
- Program edukasi dan kampanye sosial untuk mengurangi stigma, meningkatkan kesadaran, dan mempromosikan tes HIV serta pencegahan modern — khususnya di populasi kunci dan daerah terpencil.
- Pendekatan prioritas ke provinsi dengan beban tinggi, serta populasi kunci (MSM, pekerja seks, pengguna narkoba suntik, transgender), untuk memaksimalkan dampak intervensi.
Momentum untuk Bertindak
Lenacapavir bukan sekadar terobosan farmasi: ia bisa menjadi katalis bagi perubahan paradigma penanganan HIV di Indonesia. Dalam kondisi epidemi yang masih jauh dari terkendali — dengan ratusan ribu ODHIV belum diidentifikasi, dan tingkat supresi virus jauh dari target — LEN menawarkan pendekatan baru yang jauh lebih praktis, fleksibel, dan dapat diterapkan secara luas.
Tetapi potensi besar itu hanya bisa terwujud jika ada keputusan atas, kecepatan regulasi, dan komitmen sistem kesehatan — dari pemerintah pusat dan daerah, layanan publik, hingga komunitas terdampak.
Dengan langkah strategis dan cepat, Indonesia bisa menggunakan momentum ini untuk mendekatkan diri pada target 2030: “Ending AIDS, Zero AIDS-related deaths, Zero new HIV infections, Zero stigma & diskriminasi.”
Redaksi Medis360.ID









