Beranda / Fakta Teknologi Kesehatan / Deteksi Kesehatan Lewat Smartphone: Bermanfaat atau Menyesatkan?

Deteksi Kesehatan Lewat Smartphone: Bermanfaat atau Menyesatkan?

a close up of a person holding a water bottle

Cukup tempelkan jari di kamera ponsel, dan detak jantung Anda akan muncul.

Iklan-iklan aplikasi kesehatan di ponsel pintar terdengar seperti masa depan sudah di tangan kita. Tak perlu ke klinik, cukup buka aplikasi, dan Anda bisa tahu tekanan darah, detak jantung, bahkan risiko aritmia. Tapi, seberapa jauh kita bisa mempercayainya?

Demam Digital Kesehatan

Selama lima tahun terakhir, unduhan aplikasi kesehatan di Indonesia melonjak drastis. Pandemi COVID-19 ikut mendorong tren ini: orang ingin memantau kesehatan tanpa harus keluar rumah.

Di toko aplikasi, ratusan aplikasi mengklaim mampu mengukur tekanan darah, detak jantung, bahkan mendeteksi gangguan irama jantung hanya dengan kamera ponsel. Sebagian lagi terhubung ke perangkat kecil (wearable) yang diklaim “setara alat medis”.

Namun, seperti banyak tren digital, hype sering kali berlari lebih cepat daripada sains.

Tekanan Darah: Harapan dan Realita

Beberapa tahun lalu, aplikasi bernama Instant Blood Pressure (IBP) menjadi viral. Klaimnya: cukup tempelkan ponsel di dada dan jari di layar, tekanan darah akan terbaca.

Hasilnya? Dalam uji ilmiah, hanya 24% pengukuran tekanan sistolik berada dalam selisih ±5 mmHg dari alat medis standar. Sensitivitasnya untuk mendeteksi hipertensi hanya 22% — artinya, 78% penderita hipertensi bisa saja diberitahu “tekanan darah normal” padahal berbahaya.

Berbeda dengan itu, aplikasi OptiBP yang diuji di Bangladesh, Tanzania, dan Afrika Selatan justru memenuhi standar internasional ISO 81060-2, dengan rata-rata error di bawah ±8 mmHg. Bedanya? OptiBP melewati proses validasi klinis dan menggunakan algoritma yang dikalibrasi sesuai profil pengguna.

Pesan pentingnya jelas: tidak semua aplikasi tekanan darah sama, dan mayoritas belum layak dijadikan acuan tunggal.

Detak Jantung: Lebih Mendekati Akurat

Untuk detak jantung, teknologi yang digunakan lebih sederhana: photoplethysmography (PPG), yakni membaca perubahan warna kulit akibat aliran darah.

Di kondisi istirahat, aplikasi PPG di smartphone terbukti cukup akurat, dengan margin error rata-rata kurang dari 5 denyut per menit dibanding monitor medis. Namun, begitu pengguna bergerak atau berolahraga intens, akurasi bisa menurun drastis.

Mendeteksi Gangguan Irama Jantung

Salah satu terobosan paling menarik datang dari perangkat EKG portabel seperti AliveCor KardiaMobile. Perangkat kecil ini terhubung ke ponsel dan telah mendapat persetujuan FDA di Amerika Serikat.

Dalam uji klinis di Inggris, alat ini menunjukkan 0% false negative untuk mendeteksi fibrilasi atrium (AF) — artinya, jika alat mengatakan “normal”, dokter memastikan memang tidak ada AF. Tapi, angka false positive tinggi (95%) berarti hasil “positif” tetap harus diverifikasi di klinik.

Aplikasi berbasis PPG juga mulai dipakai untuk skrining AF, dengan sensitivitas dan spesifisitas yang cukup tinggi. Cocok untuk deteksi awal, tetapi bukan pengganti diagnosis dokter.

Antara Manfaat dan Bahaya

Smartphone telah membuka peluang besar untuk membawa pemeriksaan kesehatan ke tangan semua orang. Namun, kepercayaan berlebihan pada aplikasi yang belum teruji justru bisa menunda diagnosis atau membuat orang merasa aman padahal sedang sakit.

Para pakar sepakat:

  • Gunakan hanya aplikasi atau perangkat yang sudah divalidasi secara klinis dan memiliki izin regulator.
  • Jadikan hasil sebagai informasi awal, bukan keputusan medis final.
  • Untuk kondisi serius, konfirmasi di fasilitas kesehatan tetap wajib.

Teknologi aplikasi kesehatan memang bisa bermanfaat, terutama untuk monitoring mandiri dan skrining awal. Namun, manfaat hanya terasa bila alatnya terbukti akurat dan terverifikasi secara ilmiah.

Di dunia kesehatan, pepatahnya jelas: “Lebih baik tahu setengah dari kebenaran, daripada percaya penuh pada sesuatu yang salah.”

Redaksi Medis360.ID