Mengapa Kemoterapi Jadi Perdebatan?
Kemoterapi sudah lebih dari setengah abad menjadi “senjata utama” melawan kanker. Prinsipnya sederhana: obat-obatan diberikan untuk membunuh sel yang membelah cepat, termasuk sel kanker. Namun, di balik reputasinya sebagai penyelamat hidup, kemoterapi juga menyimpan sisi gelap — efek samping yang sering kali membuat pasien lebih menderita dibanding penyakit itu sendiri.
Pasien yang menjalani kemoterapi kerap mengalami mual, muntah, rambut rontok, kelelahan berat, infeksi akibat penurunan daya tahan tubuh, hingga gangguan saraf yang bisa bertahan seumur hidup. Dalam banyak kasus, kualitas hidup pasien jatuh drastis.
Inilah titik kontroversinya: apakah perpanjangan hidup beberapa bulan atau tahun sepadan dengan penderitaan yang harus ditanggung?
Data: Seberapa Manjur Kemoterapi?
Untuk leukemia, limfoma, dan kanker testis, kemoterapi bisa sangat efektif bahkan kuratif.
Pada kanker payudara atau kolorektal stadium awal, kemoterapi sebagai terapi tambahan setelah operasi bisa menurunkan risiko kambuh hingga 30–40%.
Tetapi, pada pasien stadium lanjut (misalnya kanker paru metastasis), kemoterapi kadang hanya memperpanjang hidup rata-rata 3–6 bulan, dengan efek samping signifikan.
Artinya, kemoterapi tidak sama efektif di semua jenis kanker. Di sinilah muncul perdebatan: pasien yang tidak mendapat manfaat signifikan merasa sudah dipaksa menderita tanpa hasil sepadan.
Apakah Ada yang Lebih Hebat Dari Kemoterapi?
Jawabannya: ada, tetapi belum untuk semua orang.
- Terapi Target (Targeted Therapy)
Obat ini menyerang mutasi gen spesifik pada sel kanker.
Contoh: imatinib untuk leukemia mieloid kronis, yang mengubah kanker mematikan menjadi penyakit kronis dengan kualitas hidup baik.
Kelebihan: lebih selektif, efek samping lebih ringan dibanding kemoterapi.
Keterbatasan: hanya efektif bila pasien memiliki mutasi target yang sesuai.
- Imunoterapi
Terapi yang “menggugah” sistem imun pasien agar melawan kanker.
Contoh: checkpoint inhibitors (nivolumab, pembrolizumab) pada kanker paru atau melanoma.
Kelebihan: beberapa pasien mendapat remisi jangka panjang, bahkan setelah kanker menyebar.
Keterbatasan: hanya sebagian pasien yang merespons; biaya sangat tinggi.
- Terapi Kombinasi (Personalized Medicine)
Dokter kini menggabungkan operasi, radiasi, kemoterapi, imunoterapi, dan terapi target sesuai profil genetik pasien.
Tujuannya: meminimalkan efek samping, memaksimalkan efektivitas.
Inilah arah masa depan pengobatan kanker: bukan lagi “one size fits all”, tetapi tailored therapy.
Mengapa Kemoterapi Masih Dipakai?
Lebih murah & tersedia luas. Imunoterapi dan terapi target bisa menelan biaya ratusan juta rupiah per tahun.
Sudah teruji lama. Dokter memiliki pengalaman luas dengan efek, dosis, dan protokolnya.
Meski sudah ada terapi modern, kemoterapi tetap menjadi tulang punggung di banyak negara, termasuk Indonesia. Alasannya:
Tidak semua pasien cocok dengan terapi baru. Misalnya, bila tumor tidak punya mutasi target.
Kemoterapi Masih Penting, Tapi Bukan Masa Depan
Kemoterapi ibarat pedang bermata dua: di satu sisi menyelamatkan, di sisi lain bisa melukai pasien dengan efek samping berat. Ia tetap penting — terutama di negara berkembang — tetapi jelas bukan lagi satu-satunya jawaban.
Masa depan kanker adalah personalized medicine, dengan terapi target dan imunoterapi yang bekerja lebih cerdas, bukan sekadar membabat habis sel yang cepat membelah.
Namun, hingga biaya terapi modern turun dan akses merata, kemoterapi masih akan bertahan — sekaligus tetap menimbulkan pro kontra di ruang pasien, keluarga, bahkan ruang sidang medis.
Redaksi Medis360.ID









