Beranda / Kesehatan untuk Rakyat / Matcha: Tren Minuman Kekinian yang Menyimpan Risiko Tersembunyi

Matcha: Tren Minuman Kekinian yang Menyimpan Risiko Tersembunyi

white ceramic teacup filled of matcha tea

Dari kafe-kafe di Jakarta, Bandung, hingga Surabaya, warna hijau khas matcha latte jadi pemandangan yang semakin akrab. Rasanya yang earthy, tampilannya yang instagramable, dan klaim sehat ala Jepang membuat minuman ini naik kelas dari sekadar teh hijau menjadi ikon gaya hidup urban.

Namun, di balik tren ini, ada sisi lain yang jarang dibicarakan: apakah matcha benar-benar sehat, atau justru menyimpan bahaya yang tidak terlihat?

Matcha: Antara Superfood dan Hype Media Sosial

Matcha sering dipasarkan sebagai minuman kaya antioksidan, mampu meningkatkan konsentrasi, bahkan disebut-sebut membantu menunda penuaan. Tidak heran jika banyak orang mengganti kopi pagi mereka dengan matcha, dengan keyakinan bahwa tubuh akan lebih aman.

Kenyataannya, klaim “lebih sehat” ini tidak sepenuhnya benar. Matcha memang memiliki zat bermanfaat seperti katekin (EGCG) yang mendukung kesehatan jantung dan metabolisme, tetapi konsumsi berlebihan justru dapat membawa efek samping yang berbahaya.

Risiko Kesehatan di Balik Gelas Hijau

  1. Kafein Tersembunyi
    Satu cangkir matcha bisa mengandung kafein hampir setara espresso. Jika dikonsumsi terlalu sering, gejala seperti jantung berdebar, insomnia, dan rasa cemas bisa muncul tanpa disadari.
  2. Beban pada Hati
    Penelitian internasional menemukan bahwa katekin dalam jumlah besar dapat menimbulkan stres pada fungsi hati. Efek ini mungkin tidak terasa langsung, tetapi bisa menumpuk dalam jangka panjang.
  3. Kontaminasi Logam Berat
    Teh hijau, termasuk matcha, rentan menyerap logam berat dari tanah seperti timbal dan kadmium. Karena matcha dikonsumsi sebagai bubuk utuh, risiko paparan bisa lebih tinggi dibanding teh seduhan biasa.
  4. Masalah Pencernaan
    Tingginya kadar tanin berpotensi memicu iritasi lambung, asam berlebih, dan memperparah keluhan gastritis pada sebagian orang.

Tren Gaya Hidup atau Bom Waktu?

Yang lebih mengkhawatirkan adalah cara matcha diproduksi dalam tren kekinian. Alih-alih diminum polos, sebagian besar matcha yang dijual di kafe dicampur gula, sirup, krimer, atau susu kental manis. Kombinasi ini membuat satu gelas matcha latte bisa menyimpan kalori setara sepiring nasi goreng.

Hasilnya, minuman yang seharusnya jadi simbol kesehatan malah berubah menjadi penyumbang risiko obesitas, diabetes, hingga penyakit metabolik.

Minum Matcha dengan Bijak

Matcha tidak otomatis buruk, tetapi jelas bukan “obat ajaib”. Mengonsumsinya dalam jumlah wajar—misalnya satu cangkir sehari tanpa tambahan gula berlebih—masih bisa memberi manfaat.

Namun, menjadikan matcha sebagai kebiasaan harian dalam bentuk minuman manis kekinian adalah pilihan berisiko. Tren gaya hidup sehat seharusnya tidak berakhir menjadi pintu masuk menuju penyakit.

Warning untuk Pencinta Tren Kekinian

Matcha mungkin sedang naik daun, tapi penting diingat: tidak ada minuman instan yang benar-benar bebas risiko. Setiap tren konsumsi perlu diimbangi dengan kesadaran nutrisi, bukan sekadar mengikuti arus gaya hidup.

Jangan sampai euforia warna hijau yang menenangkan justru menutupi ancaman kesehatan yang nyata.

Redaksi Medis360.ID